Jika, pertemuan dengan Budiman dan Prabowo dipersoalkan, mengapa orang-orang yang hari ini besua tidak pernah mempersoalkan ketika Koalisi Megawati-Prabowo 2009.
“Jika tujuannya mencari keadilan, maka dibutuhkan kesaksian, pembuktian, hingga menghasilkan amar putusan. Jangan kita teruskan tradisi perjuangan kemanusiaan sederajat dengan pepesan kosong isu keadilan. Terbukti, hari ini sikap politik Budiman dihasut oleh pengadilan titipan.”
Bagi banyak orang Budiman Sudjatmiko hanyalah sebuah nama, apalagi sekarang sudah menjadi bulan-bulanan. Tetapi berbeda dengan saya, Budiman adalah teman, lebih lagi namanya termaktub secara Kementerian Hukum dan HAM sebagai Dewan Pendiri Pergerakan Indonesia.
Sebagaimana, nama Budiman Sudjatmiko, sejajar pada nama-nama lain; Faisal Basri (Ekonom), Arie Sudjito (Wakil Rektor III UGM), Faisol Reza (Politisi PKB), Hanif Dhakiri (Menteri Tenaga Kerja Kabinet Kerja 2014-19), mereka tercantum Dewan Pendiri Pergerakan Indonesia.
Organisasi yang memeluk erat perjuangan kemanusiaan. Satu kewajiban bagi saya untuk membela secara terbuka “pengadilan titipan” terhadap saudara Budiman Sudjatmiko.
Dasarnya, pengadilan titipan itu berangkat dari pertemuan antara Budiman dan Prabowo beberapa hari lalu.
Tidak menunggu lama, dentuman isu kemanusiaan menerpa Budiman. Seolah, Budiman didudukan pada satu pengadilan jalanan, yang berisik dan tidak punya arah tujuan keputusan.
Pokoknya, Budiman harus disudutkan, wajib dipersalahlan, tidak boleh ada pembelaan, bahkan apa yang sudah diluruskan tetap harus dilawan.
Jika, pertemuan dengan Budiman dan Prabowo dipersoalkan, mengapa orang-orang yang hari ini besua tidak pernah mempersoalkan ketika Koalisi Megawati-Prabowo 2009.
Apalagi, Ketua Komnas HAM masa bakti 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik, sudah pernah meluruskan isu pelanggaran HAM yang digulirkan Agum Gumelar, kepada Prabowo Subianto.
Apa yang dijelaskan Taufan Damanik pada 2019, masih faktual hingga tulisan ini dinyatakan. Pernyataannya; Bahwa apa yang dituduhkan Agum Gumelar terhadap Prabowo Subianto terkait tragedi “Penculikan 98”, seharusnya diteruskan kepada Jaksa Agung. Agar, semua tuduhan mendapat ruang pembuktian pengadialan.
Nyatanya, hingga ujung Masa Jabatan Prabowo sebagai Kemhan, tuduhan itu tidak pernah hadir sebagai satu nilai kebenaran. Artinya, keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM tidak pernah bisa dibuktikan.
Masih meminjam pernyataan saat itu, jika betul surat pemecatan Prabowo Subianto direkomendasikan oleh Dewan Kehormatan Perwira, yang mana Susilo Bambang Yudhoyono juga turut menandatangani. Mengapa pada 10 tahun masa kekuasaan SBY, tuduhan “Penculikan 98” Prabowo tidak pernah dituntaskan.
Paling tidak dalam catatan proses peradilan pelanggaran HAM di Indonesia. Hingga saat ini tidak ada yang mampu dan bisa membuktikan secara meyakinkan bahwa Prabowo Subianto adalah aktor pelanggaran kemanusiaan.
Jika begitu, dimana salahnya Budiman ?
Konon lagi, Budiman sebagai manusia dan politisi dirinya punya hak untuk bertemu, berteman bahkan sekalipun mendukung Prabowo Subianto. Dalam dirinya masih berderup nyala ke-Indonesia-an. Sebagai manusia yang bebas sikap politik Budiman tidak boleh diadili, apalagi bermotif titipan.
Dalam aspek kepartaian, Budiman Sudjatmiko tidak mendapatkan “ganjaran” dari PDI-P setelah terjadinya pertemuan tersebut. Toh setidaknya hingga detik ini, Budiman belum dijatuhi hukuman bahkan pemecatan akibat “ganjaran” bertemu Prabowo Subianto.
Mari kita bertaruh, jika pada hari yang sakral ini 27 Juli 2023, tepat 27 lalu perjuangan melawan penindasan. Budiman tidak juga dihadapkan pada pemecatan atau setidaknya “ganjaran” dari mekanisme kepartaian. Jangan-jangan pertemuan Prabowo-Budiman adalah “titian jembatan kekuasaan” di masa depan.
Atau mungkin juga inisiator “pengadilan titipan” terhadap Budiman, rabun terhadap segala kemungkinan “kekuasaan” di masa depan.
Kembali lah pada apa yang diyakini Sutan Sjahrir; “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”. Karena pergunjingan “pengadilan titipan” tidak akan sanggup membalikkan keadanan!