“Sepak bola Indonesia itu milik bangsa Indonesia, sepak bola Indonesia itu ada untuk dinikmati oleh para penggemarnya.”
Kalimat tersebut disampaikan oleh La Nyalla Mattalitti dalam suatu kesempatan.
Namun sayangnya, ungkapan itu justru berbalik dengan kenyataan yang terjadi ketika La Nyalla bersikeras membangkang atas keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Melalui surat tertanggal 17 April 2015 Imam Nawrawi membekukan PSSI. Dalam surat itu Kemenpora memberikan sanksi administratif berupa tidak mengakui seluruh kegiatan PSSI.
Keputusan itu disambut meriah oleh insan sepak bola tanah air yang menginginkan pembenahan PSSI. Sebab, selama ini sudah terlalu besar kekecewaan yang ditimbulkan oleh PSSI. Dari pemain yang tak dibayar, dualisme klub dan pengurus propinsi, isu korupsi dan akuntanbilitas hingga isu pengaturan skor.
La Nyalla Mattalitti tetap bersikeras menjadi Ketua Umum PSSI. Ia terpilih dalam Kongres luar biasa PSSI yang dilaksanakan di Surabaya, sehari setelah Keputusan Menpora, dan memperoleh suara terbanyak.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai langkah Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI perlu diapresiasi.
“Saya apresiasi langkah tegas kemenpora dalam menanggapi kasus PSSI,” katanya.
Selama ini belum ada yang berani menunjukkan tindakan tegas kepada PSSI. “Prestasi dan program PSSI terus menunjukkan penurunan, padahal olahraga merupakan ajang pemersatu bangsa melalui sepak bola,” katanya, lagi.
Atas kejadian tersebut, terjadilah kisruh di dalam sepak bola tanah air. Satu pihak ingin PSSI direformasi dengan meniadakan kepengurusan lama. Sedangkan, La Nyalla Mattalitti ingin melanjutkan kekuasaan, dari sebelumnya sebagai Wakil Ketua Umum PSSI, lantas menjadi Ketua Umum PSSI.
Langkah La Nyalla justru mengorbankan insan sepak bola, pegiat dan para penggemarnya. Sebab, kekacauan PSSI membuat klub-klub terpecah belah.