Di situasi saat ini, mungkin banyak orang berpikir jika Sri Mulyani sedang banyak melamun sambil sesekali memegang kepala dengan kedua tangannya, sebab pusing memikirkan kelakuan anak buahnya, ditambah geger ratusan triliun yang diungkap Menko Mahfud MD. Namun apakah benar?
Tiap muncul di hadapan media, wajah Sri Mulyani terlihat lebih pucat. Matanya sayu seperti kurang tidur. Berkali-kali merasa sedih serta dikhianati anak buahnya sendiri. Dan terlihat lebih sensitif dan agresif terhadap pertanyaan jurnalis, bahkan tak segan menohok balik. Tonton saja wawancaranya dengan Andy F. Noya di acara Kick Andy.
Sebagian kecil apa yang dipertontonkan Sri Mulyani tersebut, sukses besar membuat arus konsentrasi terbelah. Publik yang seharusnya mendorong Sri Mulyani untuk mempertanggungjawabkan kementerian yang ia pimpin, publik yang seharusnya mempertanyakan pencitraan yang dibangung Menkeu ternyata tidak koheren dengan kejadian aslinya, malah menjadi sebaliknya.
Sebagian arus publik (untuk tidak menyebut buzzer) memberikan puja, puji, dan empati kepada Sri Mulyani. Pada tahap ini, suka atau tidak suka kita perlu angkat topi bahwa Sri Mulyani tahu cara terbaik untuk mencuci tangannya sendiri.
Sri Mulyani Pengasong Utang Bank Dunia

Pada suatu kesempatan wawancara di kanal Youtube Akbar Faizal, Anggota Komisi XI DPR RI, Akhmad Misbahun menyentil pertumbuhan ekonomi dan keluarnya Indonesia dari kengerian pandemi Covid-19.
Misbakhun membenarkan pertumbuhan dan hebatnya recovery Covid-19, tetapi itu semua adalah semu jika ditelaah detailnya. Ekonomi yang ditopang dari hutang adalah pilihan paling mudah. Siapa yang tidak bisa berhutang? Orang tidak bisa baca tulis saja tidak perlu susah payah, apalagi menteri keuangan terbaik di dunia.
Banyak opsi dan metodologi, menurut Misbahun, yang bisa dicoba. “Tax ratio kita paling rendah ketimbang negara di ASEAN lain. Negara sebesar Indonesia tax rationya sebesar 8%-9%, bahkan pernah 12% pada 2005. Jika setiap tahun tax ratio naik o,2% / 0,3%, sekarang 2023 seharusnya sudah 15% lebih tax ratio Indonesia. Artinya, kalau PDB Indonesia 15% dari 20.000, Indonesia sudah punya 3.000 lebih penerimaan pajak. Indonesia tidak perlu berhutang. Ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kita jadi punya 4.000. Surplus APBN kita!,” ujar Misbahun.
Ucapan Misbakhun ini sangat masuk akal. Pemasukan ada. Bahkan sudah seperti kompeni saja kalau meneror masyarakat soal pajak. Bayangkan saja, saat ini utang Indonesia tembus Rp 7.554 T, yang katanya bikin bulu kuduk Menkeu berdiri?
Sebenarnya kenapa hutang terus menerus? Apakah sebegitu miskinnya bangsa ini? Tidak becusnya Menkeu mengelola keuangan negara? Atau memang skenarionya supaya Indonesia sengaja dijerat hutang agar “tetap terkendali”?
Ada pola-pola menarik jika kita mau mencermati soal hutang ini. Ketika Indonesia hampir mengambil hutang, selalu ada narasi-narasi buruk perihal ekonomi Indonesia serta narasi-narasi kemanusiaan untuk mendapatkan pemakluman.
Misalnya saja ketika Covid-19, Sri Mulyani “buka-bukaan” soal alasan pemerintah “harus” menambah utang negara atau utang pemerintah. Alasannya sungguh mulia, “menyelamatkan nyawa manusia tidak bisa ditawar. Sehingga pemerintah harus jor-joran menyediakan anggaran untuk penanganan kesehatan sesuai kebutuhan”.
Menurutnya, semakin lama penanganan Covid-19, maka semakin besar pula resiko rusaknya perekonomian negara. Maksudnya adalah semakin lama mengambil hutang, maka semakin lama pula pemerintah terutama Sri Mulyani petantang-petenteng menjadi pahlawan penyelamat bangsa.
Galaknya negara dalam merapok rakyat sendiri melalui pajak dan cukai ternyata tidak bisa menjadi solusi jika terjadi krisis. Sebab uang yang ditarik dari rakyat itu dijadikan bancakan oleh pegawai Sri Mulyani sendiri.
Mungkin Sri Mulyani sudah tahu jika kementeriannya adalah sarang para tikus, tetapi dia tetap diam. Toh semakin berantakan perekonomian bangsa, semakin besar peluang untuk membawa nasabah kepada bank dunia?
Begitulah, setiap negara mengajukan uang, selalu ada narasi ketakutan di dalamnya. Dan sosok yang selalu mengucapkan itu adalah Sri Mulyani, sang menteri keuangan terbaik di dunia yang sedih karena dikhianati anak buahnya.
Apakah Sri Mulyani The Agent of Fear?
Mari kita kembali ketika perang Rusia-Ukraina pecah. Di mana kemudian terjadi ketidakstabilan harga minyak dunia, inflasi, dsb. Potensi krisis ekonomi menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.
Yang dilakukan Sri Mulyani saat itu begitu gencar menyuarakan kekhawatirannya terhadap masalah ekonomi Indonesia. Seperti yang ia posting pada laman instagramnya, Sri Mulyani menyoroti tunawisma Amerika Serikat (AS). Meroketnya tunawisma di AS diakibatkan oleh perlambatan ekonomi yang saat itu banyak terjadi di sejumlah negara.
Sebagai sosok yang berurusan langsung dengan keuangan negara, tentu postingan ini bisa dimaknai sebagai suatu hal yang urgen: Amerika yang adidaya saja sedang kesusahan, apalagi Indonesia yang begini-begini saja?
Namun Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menganggap apa yang ditulis Sri Mulyani tersebut terlalu berlebihan. Persoalan gelandangan di kota-kota besar AS sudah menjadi masalah umum,bukan berarti itu adalah indikasi langsung fenomena inflasi yang sedang terjadi.
Bambang Haryo tampaknya sudah gemas dengan meneteri keuangan satu ini. Ia menganggap Sri Mulyani sedang berakting untuk menciptakan narasi bahwa keadaan ekonomi Indonesia saja lebih baik dari negara besar seperti AS. Sekaligus untuk menjustifikasi informasi bahwa krisis ekonomi memang nyata di depan mata.
Senada dengan Bambang, PinterPolitik.com pernah dengan lugas menulis, jika beberapa pejabat tinggi seperti Sri Mulyani memang sedang menjalankan narasi ketakutan krisis ekonomi secara berkala.
Lantas jika hal itu benar, kenapa Sri Mulyani perlu memainkan narasi ketakutan ekonomi?
Jawabannya karena Rasa Takut Adalah Ekonomi. Secara ringkas, ekonomi adalah ilmu yang memelajari perilaku manusia dan kemampuan untuk mengelola sumber daya yang bersifat terbatas. Seiring perkembangan zaman, taktik dan strategi dalam ilmu ekonomi sebagian besar termotivasi oleh ketakutan manusia terhadap kehilangan kesempatan mengamankan sumber daya demi kehidupannya.
Filsuf Skotlandia, Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments, Essay on Philosophical Subject, menjelaskan bahwa rasa takut manusia adalah “hasrat terbesar manusia”. Di dalam ekonomi, ketidakmampuan mendapatkan akses makanan adalah ketakutan terbesar yang secara naluriah akan dihindari oleh manusia. Penjelasan Adam Smith itu menjadi kenyataan pahit yang mungkin perlu diterima agar roda perekonomian dunia tetap terus berputar, kemampuan manusia untuk mengelola ketakutan begitu dibutuhkan.
Kita tahu, Sri Mulyani memiliki latar belakang yang kuat di dunia ekonomi. Rasanya tidak terlalu mengada-ada untuk menyimpulkan jika Sri Mulyani sering menggunakan rasa takut publik, sebab ia sadar jika hal itu merupakan alat terkuat pemerintah untuk mengatur ekonomi negara.
Ini hanyalah interpretasi belaka terhadap puzzle kehidupan pemerintahan Sri Mulyani. Namun jika semua di atas adalah hal yang benar, berarti Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan culture of fear.
Dalam konteks ini, silahkan baca karya Gustave Gilbert berjudul Nuremberg Diary. Gustave menceritakan efektivitas budaya ketakutan yang dijelaskan oleh salah seorang petinggi Nazi Jerman, Hermann Goering. Menurut Georing, masyarakat harus dibuat takut agar mereka menyetujui narasi yang sedang dimainkan oleh pemerintah. Contohnya silahkan tengok catatan sejarah Perang Dunia II, bagaimana Hitler berhasil membuat propaganda Jerman ditindas dan diserang oleh orang Yahudi, sehingga orang Jerman yang menolak ide perang malah berbondong-bondong menjadi tentara nasionalistik.
Lalu apa hubungan Sri Mulyani dengan ketakutan ini? Silahkan cermati sendiri. Cermatilah jika Sri Mulyani sudah memainkan narasi ketakutan, maka tak lama akan ada keputusan besar yang akan keluar.
Bagi pemerintah Sri Mulyani menjadi ujung tombak yang ampuh untuk mengalihkan perhatian publik. Bagi Bank Dunia, Sri Mulyani adalah agen untuk menejerumuskan suatu negara terperosok lebih dalam ke dalam jurang hutang. Semoga ini tidak benar-benar terjadi.
Bank Dunia Menyelamatkan Agennya, Sri Mulyani?

Mei 2010 mungkin adalah bulan yang melegakan bagi Sri Mulyani lantaran SBY menyetujui pengunduran dirinya. Pada transkrip pernyataan Presiden SBY Tentang Sri Mulyani, SBY menyetujui setelah mendengarkan permohonan Sri Mulyani yang akan hengkang dari Indonesia ke Washington DC menjadi managing director Bank Dunia.
September 2015, pada peluncuran laporan survei keterbukaan anggaran 2015 di Washington, Sri Mulyani curhat soal tekanan elit ketika menjadi Menkeu era SBY. 5 tahun setelah berlalu, Sri Mulyani baru curhat alasannya mengundurkan diri selain dirantai oleh Bank Dunia.
Padahal, Indonesia Monitor mencatat, saat pengunduran dirinya, Sri Mulyani sedang dililit aneka skandal, mulai dari Bank Century, kasus Gayus Tambunan, hingga perkara Paulus Tumewu. Banyak pihak waktu itu mempertanyakan keputusan mundur Sri Mulyani dan malam memilih hengkang ke Washington DC untuk mengabdi kepada lintah darat. Banyak pihak pula yang menilai Sri Mulyani sengaja menghindari jeratan hukum, khususnya kasus Century yang sudah memasuki tahap pemeriksaaan saksi-saksi oleh KPK.
Revrisond Baswir, Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan jika Bank Dunia telah melaksanakan upaya penyelamatan terhadap “agen terbaiknya”. Selama ini Sri Mulyani adalah ekonom penganut aliran neoliberalisme, di mana negara yang menjadi markas Bank Dunia menjadi biang keroknya. Dan saham Bank Dunia terbanyak dimiliki oleh Amerika.
“Ini SOP (Standard Operating Procedure) yang berlaku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kalau ada agen-agennya mengalami kesulitan pasti akan ditarik oleh Bank Dunia dan Amerika Serikat. Itu sudah lazim. Kasus yang dialami agen-agennya nanti biasanya dipetieskan. Jadi, intervensi hukum atas negara-negara dunia ketiga itu sudah biasa,” papar ekonom dari UGM Revrisond Baswir kepada Indonesia Monitor.
Sri Mulyani dianggap setia menjalankan program neoliberalisme di Indonesia, sehingga ketika ia terkena kasus hukum Bank Dunia merasa memiliki kewajiban untuk menyelamatkannya.
Membaca catatan berita tahun-tahun itu memang mengejutkan. Misalnya saja, Aktivis 77-78 Abdulrachim dengan keras mengatakan jika Sri Mulyani berhasil menyelamatkan aset-aset Amerika di Indonesia. Sri Mulyani berhasil menyelamatkan perusahaan Halliburton di Indonesia yang diduga mengemplang pajak. Perusahaan ini milik Dick Cheney, mantan wakil presiden George Bush.
Bukan hanya itu, Masinton Pasaribu yang waktu itu menjabat Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), menuding Sri Mulyani adalah kepanjangan tangan kepentingan pemodal asing untuk menggarong potensi keuangan dan ekonomi Indonesia. Maka setiap ada kasus yang menimpa Sri Mulyani, Amerika tidak tinggal diam.
“Selama menjadi menteri, Sri Mulyani menunjukkan keberhasilannya dalam menjalankan proyek-proyek utang luar negeri, khususnya dari Bank Dunia. Selain itu, dia juga menjadi aktor utama di balik lahirnya berbagai undang-undang nekolim di bidang investasi, perdagangan, dan keuangan yang memang dibiayai oleh utang luar negeri dari World Bank,” beber Masinton.
Perihal utang Indonesia kepada Bank Dunia, Direktur Negarawan Centre waktu itu, Johan O Silalahi, juga pernah mengkhawatirkan penarikan Sri Mulyani ke Bank Dunia. Hal itu akan memuluskan kreditur asing untuk menggelontorkan utang jor joran ke Indonesia, dan jaminannya adalah aset Indonesia yang luar biasa.
Johan mewanti-wanti pemerintah untuk hati-hati mempekerjakan Sri Mulyani, karena sosok Sri Mulyani dikenal sebagai bagian dari jaringan Mafia Berkeley yang mengedepankan kepentingan asing dibanding kepentingan nasional.
Apakah kasus sekarang ini berkaitan erat dengan Sri Mulyani di era dulu. Apa yang kira-kira terjadi di depan nanti? Sri Mulyani diselamatkan atau ini semua bagian dari operasi yang tujuannya amat rahasia? Entahlah.