Fakta

Ingatan Seperempat Abad Reformasi: Aktivis Mahasiswa Jakarta Telat!

Published

on

Aku masih ingat sekali, Gerakan mahasiswa radikal tahun 1998 dan sebelumnya tidak pernah memakai istilah REFORMASI. Kata ‘reformasi’ baru populer menjelang akhir tahun 1997 dan terutama awal tahun 1998, sesudah IMF mengajukan syarat bagi bantuan keuangan untuk Rezim Suharto dan mengharuskan apa yang mereka sebut sebagai “reformasi ekonomi dan politik”—sebuah kata lain dari penerapan neo-liberalisme bagi kepentingan modal asing. Istilah REFORMASI sebetulnya tidak lebih dari sebuah PELINTIRAN politik 1998.

Karena kemiskinan wacana, kaum borjuis demokrat –semacam Amin Rais, Gus Dur, Megawati, Sultan Hamengkubuwono X dkk—kemudian mengadopsi istilah ini dalam setiap jargon mereka dan diliput oleh media massa secara luas. Istilah yang masih mencerminkan ketakukan kepada Rezim Diktator, dan penghalusan tuntutan yang dapat digunakan untuk mengelak ketika menghadapi tekanan dan teror dari rezim. Dan juga di-amini oleh Gerakan Mahasiswa di Jakarta 1998.

Perlu dicatat, Gerakan mahasiswa di Jakarta masuk sangat terlambat ke panggung politiki yaitu sekitar bulan Maret-April 1998, terutama dengan lahirnya FORKOT (Forum Kota). Perlu dicatat pula bahwa Forkot lahir dari hasil pengorganisiran dari PRD-SMID bawah tanah yang dimotori oleh Kawan Dwi Hartanto alias Lukas dari IISIP. Ketika itu Lukas bersama dengan Sheilla, mengumpulkan kembali beberapa kontak dari 3-4 kampus untuk diajak demo; lalu mereka berdiskusi di sebuah rumah kontrakan di sebrang kampus IISIP, Lenteng Agung. Demo tidak jadi, karena peserta masih agak takut dan merasa perlu mengajak lebih banyak kampus dan dilanjutkan diskusi selanjutnya di Red House di Margonda. Kemudian dari sana diadakan diskusi lanjutan di Kampus Trisakti, bersama Senat kampus setempat. Setelah itu baru diputuskan untuk mengadakan aksi—cukup panjang prosesnya dan jelas tertinggal dari Gerakan mahasiswa di kota lain seperti Solo yang sudah ke tahap lempar batu di UNS, maupun kota lain di Jogya, bahkan semacam Makassar dan Palu.

Perlu dicarar, ketika itu PRD-SMID memberlakukan komando bawah tanah atau ‘Command’ dan memerintahkan Kawan Lukas untuk kembali ke basis KMK (PDI-P) melanjutkan pengorganisiran yang memang membuat frustrasi, karena minimnya respons mereka untuk terlibat. Dan memang KMK tidak bisa menjadi ujung tombak Gerakan, mereka terlibat hanya ketika sudah ada yang mempelopori. Lalu pengorganisiran Gerakan mahasiswa dipegang langung oleh Kawan Nezar Patria dan tentu didampingi oleh Kawan Andi Arief. Dari kedua tokoh Gerakan mahasiswa dari Jogya inilah dibuat berbagai aksi semacam “aksi mogok makan” di UI, pelibatan demonstrasi dll..

Dengan demikian, Gerakan mahasiswa di Jakarta bangkit lagi, kendati agak bangun kesiangan di tengah arus deras massa rakyat yang melawan. (jangan tersinggung ya he he he..)

Kadang saya mengelus dada, bagi mereka yang sekarang mengaku “aktivis 98” apalagi dari Jakarta. Mereka baru terlibat dalam Gerakan bulan Maret/April 1998 (bulan Mei, Suharto sudah lengser), ikut demonstrasi beberapa kali ; dan mungkin aksi heroiknya menduduki Gedung parlemen selama hampir seminggu— lalu sekarang dengan bangga menyebut diri “aktivis 98” ckckckck.. Tapi ya sudahlah, sekarang semua orang boleh saja menyebut dirinya sebagai “aktivis 98” untuk berbagai kepentingan masing-masing. Soal mahasiswa masuk ke Gedung parlemen, mesti kita beri catatan jelas: itu sebuah konsesi yang diberikan oleh rezim pasca-penembakan mahasiswa Trisakti, untuk meredam amarah nasional karena kematian mahasiswa di sana; maka petinggi DPR/MPR membolehkan untuk berdemonstrasi di sana.

Walaupun berbeda namun ada nada serupa, pada peristiwa Mimbar Bebas di kantor DPP PDI di Jl Diponegoro yang adalah hasil dari bentrok di Gambir, dimana kawan Garda terlibat aktif—kemudian rezim memberikan konsesi untuk “boleh berdemonstrasi tapi di dalam DPP PDI saja”. Tujuannya agar gerakan anti-kediktatoran tidak meluas ke masyarakat; yang untungnya secara cerdik dimanfaatkan oleh PRD untuk meradikasilir massa di sana dan juga dalam konteks pengawasan pemilu KIPP serta pembentukan Pemerintahan Transisi. Maka tuduhan rezim bahwa PRD adalah dalang dalam peristiwa itu, ada benarnya juga.

Tentu bukan bermaksud mengecilkan peran Gerakan mahasiswa (aktivis) ‘98 di Jakarta, sebagai pusat politik -ekonomi Indonesia. Setiap kota pasti ada perannya, Jakarta juga berperan dengan terjadinya peristiwa Semanggi 1 dan 2 yang memberikan warna berbeda bagi Gerakan Mahasiswa secara keseluruhan.

Nah jelas bahwa reformasi bukanlah istilah yang dikenal oleh Gerakan Radikal tahun 1998 dan sebelumnya yang dengan jelas dan gamblang menuntut:

  • Cabut 5 UU politik
  • Cabut Dwi Fungsi ABRI
  • Turunkan Suharto
  • Turunkan harga
  • Upah 7 ribu
  • Referendum untuk Timor Leste
  • Penentuan Pendapat Sendiri untuk Papua
    dll

Memang, menjelang dan pasca-lengsernya Suharto, istilah ‘reformasi’ juga dipakai oleh Rezim dan oleh para demokrat borjuis dan semua media massa serta beberapa Gerakan mahasiswa: maka populerlah istilah ini, yang sebetulnya mencerminkan kesadaran massa rakyat yang masih terilusi tsb.
Melihat keadaan inilah maka, Gerakan Radikal Kerakyatan kala itu memutuskan untuk memajukan tuntutan tersebut menjadi “Reformasi Total”, menghabisi “Reformis Gadungan dan Sisa ORBA”. Hal itu terjadi pasca-lengsernya Soeharto pada Mei 1998 terutama saat tahun 1999 —momen pemilu–yang saat itu juga diwarnai berbagai demonstrasi anti-Golkar.

Ini sekadar kisah dari masa lalu mengenai istilah “reformasi”dan juga “aktivis Reformasi 98”…

(Jakarta 31 Mei 1998, 25 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi)


Penulis adalah Aktivis 98

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version